"Kalian tahu kan bagaimana capeknya hidup? Aku capek dengan hidup ini karena aku ingin meraih sesuatu, tapi tak tahu apa yang mau diraih?"
"Kalian tahu kan bagaimana rasanya tidak dianggap atau disepelekan oleh teman-temanmu sendiri?"
"Kalian tahu kan bagaimana hidup dengan penuh rasa bimbang, bosa n dengan rutinitas, dan penuh sakit hati?"
"Tahu kan bagaimana rasanya dikelilingi banyak teman, tapi ternyata itu hanya fake Friends?"
Inilah yang aku alami sebelum mengikuti retreat di sekolahku pada Senin, 10 Oktober 2016 sampai Rabu, 12 Oktober 2016 di Griya Samadhi Vinsensius, Prigen. Bersama dengan teman-teman kelasku XII IPA-1 (Justice).
Sebenarnya yang di benakku: "Halah retreat paling cuma senang-senang aja." Hal itulah yang aku pikirkan karena pengalaman bahwa retreat yang aku ikuti selama ini isinya cuma games, diskusi, pentas kreativitas, materi sedikit.
Tapi karena beberapa kalimat yang terus memenuhi benakku (di awal artikel) akhir-akhir ini. Akhirnya aku hanya bisa berdoa agar aku bisa mendapatkan jawabannya.
Mau tahu hasilnya?
Ya sama saja. Apa yang udah dalam benakku dan kenyataannya itu sama saja. Isi retreat itu cuma games, diskusi, pentas kreativitas, dan senang-senang sama teman. Gak ada bedanya.
Namun aku merasakan ada hal berbeda dari retreat kali ini. Begitu banyak hal yang sering tak pernah kupikirkan itu terjadi di sana. Apalagi di saat waktu-waktu untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Aku masih ingat betul bahwa aku hanya berdoa kalau aku ini hanya ingin kasih Tuhan itu ada dalam hatiku. Dari saat itulah ada sesuatu yang keluar dalam hatiku seakan-akan segala kepahitan, pikiran negatif, dan masalah itu terangkat semua. Kalau diibaratkan itu seakan-akan aku itu masuk dalam sebuah air dan merasakan bahwa tubuhku itu begitu ringan.
Nah dari situlah aku mulai belajar untuk mencintai Tuhan dan mau mendengarkan apa yang Tuhan mau. Namun itu semua tak cukup sampai situ. Aku juga mulai belajar terbuka dengan teman-temanku.
Memang selama proses retreat yang aku jalani itu aku lebih pasif, artinya cuma menjadi pendengar yang baik. Namun aku mulai jujur dengan masalah yang aku hadapi saat ini, yaitu aku merasa bahwa aku ini gak punya yang namanya sahabat dan hidupku ini sudah kehilangan arah.
Jika kalian merasakan hal yang sama padaku juga, aku hanya bilang pada kalian semua. Pertama-tama, berdamailah dengan diri sendiri dan Tuhan terlebih dahulu. Karena setiap masalah itu biasanya datang dari hati kita sendiri. Mungkin itu sebuah pikiran negatif, kecewa, ataupun sakit hati. Barulah nantinya kita serahkan hidup kita untuk Tuhan.
Itulah yang aku dapat selama perenunganku di dalam retreat ini. Tak hanya berhenti dari situ pula. Aku juga merasakan bagaimana teman-temanku ini bersikap baik (ya pokoknya beda dengan sikap sehari-hari mereka di sekolah) dengan aku dan lainnya.
Mungkin dalam sekolah, kelasku selalu dicap bahwa kita ini kelas yang sulit untuk kompak dan kurang disiplin. Kenyatannya? Aku melihat bahwa sebenarnya kelasku ini bisa. Dan dari situ aku merasa bahwa sebenarnya kelasku kurang kompak karena cap-cap negatif itu dan memang dua puluh persennya karena ego kita yang terlalu tinggi.
Apalagi melihat bagaimana tiap-tiap orang mulai saling berkerja sama untuk bisa memberikan yang terbaik bagi kelompoknya, terutama dalam games yang diberikan. Intinya adalah kita itu bisa hanya saja belum terbiasa. Karena kalau kita di sekolah itu cuma belajar, istirahat, pulang. Tidak ada waktu untuk saling mengenal seperti retreat seperti ini.
Jadi aku melihat bahwa begitu banyak perbedaan yang aku alami saat ini. Oh ya ada satu lagi yang membuatku merasa bahwa retreat di GSV terasa berbeda, yaitu pengalaman hidup tiap-tiap orang.
Dalam pengalaman hidup yang diceritakan oleh teman-temanku inilah yang membuatku bersyukur dan berempati. Bersyukur karena Tuhan itu memang adil dan baik dalam segala tindakannya karena Dia tidak akan membiarkan kita untuk down sampai lubang paling dasar. Dia terus mengikat kita agar kita bisa dekat dengan-Nya.
Berempati karena aku juga bisa tahu rasanya mempunyai masalah-masalah yang teman-temanku alami. Setidaknya dengan keterbukaan ini bisa membuatku sadar bahwa masih banyak orang yang memiliki masalah yang sama dengan aku. Hanya saja kita harus bisa saling support, saling mencintai, dan saling menguatkan satu sama lain.
Sehabis pulang dari retreat ini inilah yang menjadi komitmen ku pada Tuhan, yaitu aku ingin belajar peduli dan peka terhadap apa yang Tuhan inginkan serta apa yang sesamaku butuhkan.
Akhirnya, aku merasa bersyukur deh bisa berada dalam kelas XII IPA-1 (Justice) karena mereka adalah keluarga keduaku yang patut aku syukuri dan perjuangkan.
"Cinta itu butuh kehadiran"
"Tak ada waktu yang lebih bahagia dibandingkan pada saat kita berada dalam kasih Tuhan"
"Cintailah orang lain maka orang itu akan mencintai kita pula"
"Hidup tidak seperti roda. Namun hidup itu seperti anak tangga. Tuhan akan membawa kita naik terus menerus dan tidak pernah kembali untuk turun"
Itulah yang aku dapat selama retreat di GSV, Prigen selama tiga hari ini. Sebenarnya aku ingin bisa menambah beberapa hari gitu karena menurutku waktu yang seperti ini justru terasa begitu cepat. Namun Tuhan tidak menghendakinya karena ini masih awal menuju hidup penuh tujuan yang sesungguhnya.