Cerita di blog ini

Hawaphobia: First Fall in Love (1.Hari Sial)

        Alergi? Apa yang ada dalam pikiranmu mengenai alergi? Mungkin dalam pikiran kalian akan terlintas jenis-jenis alergi yang ada, mungk...

Sunday, April 29, 2018

[Cerpen] Apakah Benar Aku Seorang Malaikat Maut?

Kata orang, aku ini adalah malaikat maut bagi orang-orang yang jatuh cinta padaku. Mudah sekali bagi mereka mengatakan hal demikian, di samping aku harus menerima kenyataan pahit bahwa aku harus kehilangan semua laki-laki yang aku cintai untuk selamanya. Ahh! Percuma saja orangtuaku berkata bahwa itu hanyalah omong kosong, tapi aku tak bisa menutup telinga ini dari semua omong kosong mereka, aku masih mempunyai kedua telinga yang sempurna yang masih mampu mendengar semua perkataan baik dan buruk orang lain, aku bukanlah orang yang bisa tegar menghadapi semua orang di luar sana yang terus membullyku dan selalu meneriakkan omong kosong tersebut. Aku hanyalah gadis yang lemah, aku adalah wanita yang lemah, yang sampai saat ini aku selalu bertanya pada diriku sendiri apa menjadi alasan aku untuk tetap hidup? Untuk membuat semua orang di dekatku mengalami celaka dan bahaya? Atau membuat semua laki-laki yang jatuh cinta padaku menemui ajalnya?

"Woyy kalau di kamar mandi itu jangan lama," teriak temanku bernama Debora dari luar sambil menggedor-gedor pintu seperti orang kesurupan. Akhirnya aku menutup note diary di Hp ku, lalu membersihkan diri, dan keluar dari kamar mandi. Namun tiba-tiba Debora menarik kerah baju seragamku dengan kasar dan mendorongku sehingga posisiku terkunci antara Debora dan tembok di belakangku. "Aku mau bilang ya kalau hari ini aku dan Dion resmi berpacaran. Jadi aku harap kamu jangan dekat-dekat lagi sama Dion!" ancam Debora.

Aku pun tersenyum sinis. "Penting gitu untuk mengatakan bahwa kamu dan Dion resmi berpacaran di depanku?" tanyaku sinis.

Debora memasang senyum tak kalah sinisnya dengan aku, "Penting lah! Ingat ya semua laki-laki yang dekat dan jatuh cinta sama kamu selalu berakhir tewas mengenaskan dan aku tak mau kedekatanmu dengan Dion membawa celaka bagi Dion, mengerti?" jawab Debora, lalu dia pergi meninggalkan kamar mandi.

Aku menghela napas panjang, lalu menuju ke westafel, dan melihat wajahku yang kini tampak berantakan di depan cermin karena air mata yang terus mengalir membasahi kedua pipiku selama aku menulis betapa pahitnya kenyataan itu di kamar mandi tadi. Aku segera meraup wajahku, lalu melihat wajahku kembali di depan cermin. Aku memasang senyum sinis melihat wajahku sendiri. Apakah ini wajah seorang malaikat maut itu? Pertanyaan ini tiba-tiba terlintas dalam pikiranku dan aku tak menyangka bahwa diriku sudah termakan oleh omongan semua teman-temanku bahwa aku ini adalah seorang malaikat maut bagi semua laki-laki yang jatuh cinta padaku.

***

"Selly!" teriak Dion di lorong lantai tiga sekolah, tepat di belakangku. Aku menghentikan langkahku, lalu menutup mataku sambil menghembuskan napas lesu. Tiba-tiba Dion menepuk pundakku dan kini dia tepat berada di depanku dengan napas tersengal-sengal. "Sel, kamu perlu tahu ini bahwa aku sebenarnya tidak pacaran sama Debora, tapi ...," kata Dion yang aku hentikan dengan menaruh jari telunjuk ku di depan bibirku.

"Hentikan omong kosong mu itu! Lagipula untuk apa aku peduli hubunganmu dengan Debora?" kataku.

Dion melepas cengkraman tangannya dari pundakku, lalu memegang pelipis kanannya sambil menarik napas dengan berat. "Oke aku tahu ini susah untuk aku ucapkan," kata Dion sehabis menghela napas panjang. "Sebenarnya aku cinta sama kamu, Sel," lanjut kata Dion dengan bibir gemetar.

Entah kenapa aku merasa bahwa ada sesuatu yang membuatku bahagia ketika Dion mengatakan hal demikian, tapi aku berusaha untuk menormalkan wajahku. Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada, lalu memandang langit biru nan cerah yang sedang menyaksikan semua yang terjadi antara aku dan Dion. "Lebih baik kau jauhi aku!" kataku sambil pergi hendak meninggalkannya.

"Sel! Aku tak percaya dengan rumor itu! Dan aku tak pernah percaya dengan namanya kutukan atau malaikat maut atau sebagainya!" teriak Dion yang begitu meyakinkan dari belakang membuatku menghentikan langkahku. "Aku hanya percaya bahwa setiap orang tak bisa menghindar dari namanya takdir, tapi manusia dapat memilih untuk terus kalah dengan takdirnya atau mau bangkit mengubah takdir itu," lanjut teriak Dion.

Aku meneloh ke belakang untuk melihat wajah Dion. "Gak jelas!" balasku.

"Sel, aku mohon percaya sama aku! Kamu bukanlah malaikat maut seperti yang mereka katakan, tapi di mataku kamu adalah wanita yang tegar dan kuat, aku tahu kamu bukanlah wanita yang mudah cengeng atau menyerah pada segala sesuatu, tapi kamu wanita yang luar biasa bagiku," kata Dion.

Aku tersenyum sinis, "Gombalmu receh juga ya," kataku dengan tawa kecil. Namun dia malah tersenyum bahagia ketika aku mengejeknya. Aku langsung mencoba memasang wajah dingin. "Namun sayang pilihanku tetap bulat! Aku tak mau kamu menjadi laki-laki ke delapan yang mati mengenaskan karena cinta denganku," lanjut kataku sambil meninggalkan Dion sendirian di sana.

***
Dua tahun telah berlalu dengan kehidupanku yang masih berantakan dengan bumbu-bumbu bully dari teman-temanku yang tak ada habis-habisnya. Entah kenapa Tuhan masih memberikanku kehidupan sampai sekarang dengan kondisi seperti ini. Malam ini akan menjadi malam perpisahan sekolah dimana aku sangat benci dengan malam seperti ini karena pasti banyak yang baper-baperan atau nangis bareng-bareng. Ahh, aku tidak ingin berangkat sebenarnya. Namun apa daya aku kini sudah berada di gedung dimana SMA aku melakukan perpisahan.

Sehabis pembagian ijazah, ada banyak sambutan mulai dari mantan ketua OSIS, ketua OSIS, kepala sekolah, mantan kepala sekolah, bahkan mantan pembersih sekolah pun ikutan memberi sambutan pula. Aku benar-benar bosan, tapi pandanganku terkunci pada dream catcher yang tergantung di dekorasi panggung. Andai aja semua impian ku ini bisa menjadi nyata.

Aku beranjak dari bangkuku hendak menuju kamar mandi karena aku benar-benar bosan, apalagi acara yang saat ini berlangsung adalah acara joget bersama Dj yang tidak jelas juga siapa dia. Namun kakiku terasa sakit akibat high heels terkutuk ini. Seumur-umur aku baru pertama kali memakai high heels seperti ini. Aku melepas high heels itu dari kakiku dan membawanya di tangan kananku. Penampilanku persis seperti gelandangan saat ini dimana aku sedang tidak memakai sepatu. Namun dengan cuek aku pergi menuju kamar mandi dengan kondisi seperti ini, walaupun harus sedikit malu dilihat sama teman-teman dan guru-guruku.

Saat sudah di depan kamar mandi, aku menaruh high heels terkutuk ini di atas depan pintu, lalu hendak membuka kenop pintu kamar mandi. "Kau tahu? Seandainya kalau rumor itu benar, maka aku saat ini sudah tidak ikut malam perpisahan," kata Dion dengan setelan kemeja putih beserta dasi kupu-kupu dan gitar di belakang punggungnya. "Selama dua tahun, kamu menjadi alasan bagiku untuk semangat mengawali hari-hari ku dan namamu selalu aku sebut dalam doa-doaku ketika aku harus mengakhiri hari-hari ku," lanjut kata Dion.

Aku tersenyum sinis. "Belajar gombal darimana kamu? Akhirnya pinter dikit kalau gombal," kataku.

"Aku rasa waktu dua tahun cukup untuk belajar gombalin cewek," jawabnya dengan senyum kecil.

"Tapi sama saja pilihanku tetap bulat!" tegasku.

"Aku tahu sebenarnya ketika kamu berkata demikian, hati kamu sedang menjerit bukan?" tanyanya yang membuatku tertegun. "Aku tahu sebenarnya kamu juga memiliki perasaan yang sama denganku, buktinya kamu berusaha untuk selalu menjauh dariku karena kamu sendiri khawatir kalau aku benar-benar terkena celaka karena mencintaimu," lanjut kata Dion.

"Ihh sotoy!" balasku.

"Sekarang kamu lihat bukan rumor itu benar atau tidak? Jika rumor itu benar, aku sudah tidak mungkin bisa berdiri di depanmu ini, namaku sudah diukir di batu nisan sekarang, tapi kenyataannya? Kamu masih melihat aku di sini kan?" kata Dion yang terus meyakinkanku.

"Sel! Ingat! Tak ada manusia yang diciptakan sebagai pembawa sial atau sebagainya. Jika tujuh laki-laki yang cinta padamu kemarin-kemarin meninggal itu hanyalah kebetulan, bukan karena kamu yang membuat mereka mati!" lanjut kata Dion.

Aku menundukkan kepalaku, aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Memang benar kata Dion, selama ini aku tampak biasa saja, padahal hatiku benar-benar terluka atas semua kenyataan pahit yang pernah aku lalui dulu.

Tiba-tiba Dion memegang kedua tanganku perlahan. "Aku mau menjadi laki-laki pertama dan satu-satunya yang mematahkan rumor atau julukan malaikat maut itu dari hidupmu," kata Dion. Aku menatap wajahnya sejenak yang membuay hatiku terasa tenang sekarang. "Katakanlah kalau memang kamu juga memiliki perasaan yang sama denganku, tak perlu malu akui hal itu karena aku dapat melihat di matamu bahwa kamu juga jatuh cinta padaku," lanjut kata Dion.

Tiba-tiba satu tetes air mataku mengalir membasahi pipi kananku. Aku melepas kedua tanganku dari genggaman tangan Dion dan menghapus air mata itu dengan punggung tangan kananku.

Dion tersenyum, lalu melepas tas gitar yang dari tadi dia selempangkan di tubuhnya, lalu mengeluarkan gitar tersebut. Dia menggenjreng gitar tersebut dengan merdu dan halus.

I found a love for me
Darling just dive right in
And follow my lead
Well I found a girl beautiful and sweet 
I never knew you were the someone waiting for me
'Cause we were just kids when we fell in love

Not knowing what it was
I will not give you up this time
But darling, just kiss me slow, your heart is all I own
And in your eyes you're holding mine

Baby, I'm dancing in the dark with you between my arms
Barefoot on the grass, listening to our favorite song
When you said you looked a mess, I whispered underneath my breath
But you heard it, darling, you look perfect tonight

Aku tak menyangka selama ini dia bisa bermain gitar dan suaranya lumayan lah.

Baby, I'm dancing in the dark, with you between my arms
Barefoot on the grass, listening to our favorite song
When I saw you in that dress, looking so beautiful
I don't deserve this, darling, you look perfect tonight

Dion berhenti main gitarnya, lalu dia menyandarkan gitarnya di tembok sebelah kanannya. "Ketahuilah walaupun kamu tidak memakai high heels seperti ini dan rambutku tampak acak-acakan, tapi kamu tampak sempurna malam ini. Aku benar-benar tak tahu harus nyanyi lagu apa lagi untuk menggambarkan betapa sempurna dan cantiknya dirimu malam ini dengan dress warna biru seperti ini," kata Dion.

Tiba-tiba sebuah perasaan bahagia yang kucari selama beberapa tahun ini muncul seketika ketika Dion berkata demikian. Namun seperti biasa aku pasang wajah senormal mungkin. "Dion, " panggilku dengan jantung berdegup kencang, sehingga aku berusaha mengalihkan pandanganku dari tatapannya. "Semua apa yang kamu katakan malam ini benar, termasuk bahwa ...," aku berhenti mengucapkan kalimat menurutku lebih susah daripada soal matematika. "Aku memiliki perasaan yang sama denganmu," lanjut kataku yang meluncur begitu saja.

Aku bisa melihat Dion tersenyum bahagia saat ini, tapi untungnya dia tidak se alay di FTV. Jadi dia tetap berdiri di tempatnya sambil tersenyum bahagia dan bersyukur sambil berkali-kali menghembuskan napas lega. Aku rasa malam ini menjadi malam yang sangat berarti dalam sejarah hidupku. Susah untuk menggambarkan perasaanku saat ini, tapi satu yang pasti bahwa aku tak perlu takut lagi dengan julukan atau pembullyan dari teman-temanku karena buktinya hal tersebut tidak berlaku pada Dion. Dan pastinya bahwa apa yang aku impikan selama ini benar-benar menjadi kenyataan di malam ini.

Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment