"Namaku Andi, sekarang status aku lagi gak jelas. Sebenarnya aku adalah pejuang SBMPTN yang memperebutkan kursi di universitas favorit, tapi karena kursinya lari-lari ya jadinya aku dapat mejanya aja," kataku saat membawa materi stand up di sebuah kafe. Namun tak ada satupun orang yang ketawa.
"Ehh ketawa dong! Diem-diem bae kayak orang susah," teriakku yang membuat wajah-wajah orang di depanku makin tegang semua.
Tiba-tiba manajer kafe menepuk pundakku. "Nak, waktu stand up udah habis," kata manajer kafe sambil mengambil alih mic di tanganku.
"Ehh! Jangan dong! Belum selesai ini!" teriakku. "Kalian tahu gak apa yang lucu dari jomblo?" tanyaku pada penonton yang membuat manajer kafe berhenti merebut mic dari tanganku. "Huruf 'J' nya, coba kalau huruf 'J' nya diganti huruf 'z' kan jadi zomblo," lanjut kataku yang kali ini membuat jangkrik diam tak bersuara.
Manajer kafe langsung mengambil alih mic dari tanganku. "Abaikan saja badut Ancol di samping saya, sekarang silakan nikmati pertunjukan dari Om Tarno," kata manajer pada pengunjung kafenya yang disambut tepukan meriah dari seluruh pengunjung kafe.
***
"Bro tadi lagi ngelucu atau lagi ngeden sih? Masa wajah aku aja lebih lucu daripada stand up mu," kata temanku namanya Rudi.
"Diem kau!" teriakku sambil melempar dasi kupu-kupu ku di atas sofa. Setelah itu, aku mengambil laptop dan membukanya.
"Pasti kamu ada masalah kan?" tanya Rudi.
Seketika aku terdiam dan menarik napas panjang. "Gak!" jawabku dengan lantang.
"Udah kelihatan kok biasanya kalo canda mu garing pasti kamu lagi ada masalah," kata Rudi.
"Sok tahu kamu!" balasku.
Tiba-tiba Rudi duduk di sampingku sambil melihat layar laptopku yang kini sedang membuka email balasan dari penerbit X. "Ohh jadi naskah novelmu ditolak ya sama penerbit?" tanya Rudi.
"Bukan masalah itu! Naskah novel ditolak penerbit X pun masih bisa kirim ke penerbit Y atau penerbit lainnya," jawabku dengan pandanganku yang masih fokus di laptop sambil jari-jariku mengetik sebuah link di chrome.
"Terus masalahnya apa?" tanya Rudi yang membuatku kini benar-benar kesal.
"Karena aku jomblo! Puas?" jawabku yang membuat Rudi tertawa puas sampai perut buncitnya naik turun dengan jelas.
Rudi berhenti tertawa, lalu menarik napas panjang. "Makanya cari cewek sana!" kata Rudi, lalu dia tertawa lagi.
Aku benar-benar kesal sekarang, lalu aku membuka YouTube dan mengetikkan '100 cara bunuh diri dengan elegan dan tidak sakit'
"Woyy nasi pecel masih enak! Ngapain kamu mau bunuh diri?" tanya Rudi.
Aku menutup laptopku dengan kasar. "Ahh! Gak usah bacot kau!" teriakku yang membuat wajah Rudi menjadi tegang melihat aku marah. "Cobalah untuk diam aja atau kamu keluar dari sini!" ancamku.
"Ehh tapi ini kan apartemen ku," kata Rudi.
"Ohh ya benar juga," kataku sambil memasukkan laptopku ke dalam tas, lalu menyelempangkan tali tas laptopku di tubuhku. "Aku yang pergi," kataku sambil melangkah menuju pintu.
Namun Rudi memegang tangan kananku. "Di! Kalau ada masalah itu cerita! Jangan dipendam sendiri!" kata Rudi. "Sekarang kamu cerita deh apa sih masalah mu?" tanya Rudi.
Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskan nya kasar. "Oke pertama aku minta maaf kalau udah marah kayak tadi. Kedua karena aku tidak lulus SBMPTN, kedua orangtuaku tidak mau mendaftarkan aku di kuliah manapun. Ketiga, Hana langsung minta putus denganku setelah mendengar bahwa aku tidak kuliah," jelasku.
Rudi tersenyum, lalu menepuk kedua pundakku. "Pertama aku gak masalah kalau kamu itu marah-marah, sekalipun mungkin kamu bakal acak-acak isi apartemen ku," kata Rudi, lalu dia memasang raut wajah sedih juga.
"Kedua, kita senasib Bro. Bedanya, kalau aku harus kuliah di luar negeri, tapi aku nolak. Ya kali bahasa Inggrisnya 'aku' aja sampai sekarang aku gak tahu," kata Rudi yang membuatku sedikit tertawa.
"Ketiga! Kapan kamu pacaran sama Hana? Aku aja teman dekatmu aja gak tahu?" tanya Rudi tiba-tiba.
Aku pun tersenyum kecil. "Sebenarnya aku udah mau cerita sama kamu, tapi ya karena aku lupa jadi ya gak cerita sampai sekarang," kataku dengan nada lembut dan merasa bersalah.
"Oke gak masalah itu! Tapi aku jujur gak suka dengan cewek seperti itu! Ibaratnya dia hanya mau bersamamu di saat senang saja, tapi tidak di saat kamu susah," kata Rudi dengan nada membara-bara. Rudi mendekatiku, lalu menepuk pundak kiriku, "Kamu harus tunjukkan ke dia kalau kamu bisa lebih sukses dari dia! Sekalipun kamu gak kuliah!" kata Rudi berusaha memotivasi ku.
Tiba-tiba ponselku bergetar di sakuku, lalu aku merogoh sakuku, dan mengambil ponselku. Aku melihat nama Hana di layar ponselku. "Nah ini nih selalu ada hambatan buat seseorang untuk move on," gumam Rudi. Namun aku bodo amat dan mengangkat telepon Hana.
"Yank, kamu ada dimana?" tanya Hana dari seberang telepon.
"Aku di sini dan kau di sana," jawabku dengan sebuah lagu. Mimpi apa aku? Dipanggil 'yank' sama Hana?
"Hanya berjumpa via suara," balas Hana. "Yah kok tambah nyanyi sih," lanjut kata Hana sambil tertawa tak jelas.
Akupun juga tak bisa untuk tidak tertawa sekarang. "Btw tumben kamu bisa nyanyi, Bud?" tanya Hana yang membuatku bingung.
"Bud? Siapa Bud?" tanyaku pada Hana, lalu beberapa saat kemudian teleponnya dimatikan.
Aku tampak bingung, lalu aku melihat Rudi sedang menahan tawa. Aku rasa dia mendengar percakapan antara aku dan Hana. "Kan apa ku bilang kalau cewek seperti itu pasti gak bener dah. Cepat sekali dia move on dari kamu," kata Rudi.
"Ehh kapan emang kamu bilangnya?" tanyaku.
"Cih! Bodo amat dah intinya kamu harus move on! Pilihanmu sekarang kamu mau menjomblo atau move on ke cewek lain," kata Rudi yang benar-benar membekas dalam ingatanku mulai malam itu.
***
"Selamat naskahmu kami terima," kata salah satu editor penerbit Y sambil mengulurkan tangannya di depanku. Aku benar-benar tak percaya akhirnya impianku benar-benar berhasil sekarang.
Aku membalas juluran tangan sang editor dengan semangat. "Sama-sama Pak, terimakasih atas bantuannya," kataku dengan terbata-bata.
Sang editor di depanku tersenyum bahagia, "Baik akan saya hubungi lebih lanjut untuk melakukan revisi terhadap naskahmu," kata sang editor, lalu meninggalkan ruangannya.
Ohh tidak! Aku benar-benar tak menyangka bahwa ini semua kenyataan. Aku keluar dengan wajah gembira sambil menari-nari seperti orang gila. Namun aku berhenti menari ketika ada seorang cewek seusiaku sedang membawa tumpukan kertas yang dia peluk sambil menahan tawa melihatku menari. Akupun langsung bersikap normal dan langsung menahan malu.
"Pasti naskahmu diterima di penerbit ini ya?" tanyanya tiba-tiba.
Akupun menggaruk belakang leherku yang tidak gatal. "Ehmm iya sih," kataku kikuk. "Kok tahu?" tanyaku.
Dia tersenyum sinis. "Cih! Pasti kamu penulis pemula kan?" sindirnya yang begitu tajam sampai merasuk ke dalam hatiku dan membelah jiwaku. "Satu hal yang harus kamu ingat bahwa persaingan mu bukanlah berakhir di meja redaksi penerbit, tapi persaingannya ketika novelmu sudah terbit dan harus bersaing dengan novel-novel yang satu genre dengan novelmu di toko buku," jelasnya. "Ohh ya perlu diingat lagi bahwa orang-orang Indonesia sudah kehilangan semangat untuk membaca, apalagi kalau novelmu tak menarik, ya pasti berakhir di tempat sampah," lanjutnya dengan nada meremehkan aku.
Aku berdeham kecil. "Emang siapa sih kamu? Sok-sokan nyindir aku dan karyaku?" tanyaku.
Dia tersenyum sinis. "Namaku Jessica," jawabnya.
Akupun tertegun seketika. "Jessica penulis novel best seller 'Cowokku Kura-Kura Ninja dari Meikarta' itu?" tanyaku.
Jessica mengangguk, lalu memasang wajah sinis kembali, lebih tepatnya tatapannya meremehkanku. "Semoga berhasil dengan naskahmu," katanya sambil pergi meninggalkanku. Namun dia balik lagi ke aku sambil memberikan beberapa tissue padaku. "Wajahmu keringetan tuh," katanya, lalu pergi begitu saja. Aku sedikit mengangkat kedua sisi bibirku melihat tissue yang dia berikan.
***
Tumpukan kertas mulus mendarat mengenai pelipis kiriku. Akupun terkejut, lalu melihat ke sisi kiri ternyata Mamaku yang melemparnya sambil memasang raut wajah tak menyenangkan. "SBMPTN gak lulus! Disuruh cari kerja gak mau! Mau jadi pengangguran kamu? Mama gak mau ngasih makan buat orang pengangguran!" marah Mamaku.
Ku ingin marah, tapi aku coba untuk menahannya. "Pokoknya gak mau tahu Mama mau minggu depan kamu harus udah kerja," kata Mamaku sambil pergi meninggalkanku. Aku menggebrak meja laptopku kasar. Aku udah gak bisa fokus buat revisi naskahku jika tiap hari omongan yang sama selalu berdengung di kedua telingaku.
Aku menutup laptopku, lalu beranjak pergi ke luar rumah. Inilah aku di saat aku sedang tidak mood, aku selalu pergi keluar rumah. Kau tahu kemanakah aku bakal pergi? Aku selalu pergi ke jembatan penyeberangan sambil melihat kendaraan yang berlalu lalang di bawahnya dan melihat indahnya lampu kota di malam hari.
Sesampainya di jembatan penyeberangan, aku naik ke atas, lalu berjalan sejenak sebelum aku berhenti menaruh siku kedua tanganku di atas pagar pembatas dan melihat indahnya lampu balai kota di malam hari.
"Lagi galau?" tanya seseorang tiba-tiba dari belakangku.
Aku menoleh ke arah suara tersebut dan melihat Jessica berdiri di samping kiriku sambil matanya memandang lampu balai kota. "Aku tak mengerti kenapa suasana kota di saat malam hari membuatku merasa tenang, bukankah itu yang kamu rasakan juga?" tanyanya.
Akupun bingung sendiri harus menanggapi dengan kalimat apa. Jessica menoleh padaku dan entah mengapa detik itu aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dari diriku. Sebuah rasa yang telah lama aku nanti kini muncul lagi. Malam ini aku melihat betapa cantiknya Jessica dengan kaos warna putih beserta jeans warna biru, maksudku tidak seperti saat pertama kali bertemu di kantor penerbit. "Kau cowok yang beruntung bisa berdua denganku di atas jembatan penyeberangan ini. Di saat para pembaca novelku tergila-gila untuk bisa bertemu dan berfoto bersama aku," kata Jessica.
Akupun merasa diriku direndahkan oleh dia saat ini. Aku berusaha menormalkan degup jantung dan ekspresiku. "Gak! Aku justru ingin bisa sendirian saat ini di tempat ini, tapi kamu tiba-tiba datang di sini dan membuat acara me time ku buyar," kataku.
Jessica tersenyum sinis. "Oke kalau itu pilihanmu untuk ingin sendiri di sini, aku akan pergi dari tempat ini," kata Jessica sambil pergi meninggalkanku. Namun aku mencekal lengan kanannya, dia menoleh dengan wajah marah. "Lepas gak?" teriaknya dengan nada mengancam.
Akupun melepas cengkraman tanganku dari tangannya. "Maaf, tapi aku mau tanya sekarang kamu kelas berapa?" tanyaku yang meluncur dari bibirku begitu saja, padahal aku gak mau tanya hal itu.
"Aku baru lulus dari SMA," jawabnya.
"Ohh berarti kamu habis ini kuliah ya?" tanyaku. Dia langsung tampak diam dan menunduk. Aku rasa aku salah bertanya. "Ehmm maaf kalo aku salah tanya," kataku.
Dia mengangkat wajahnya lagi, "Gak! Aku gak kuliah," jawabnya.
"Kenapa?"
"Kepo! Udah ah gak usah urusin kehidupanku! Urus tuh revisi naskah biar bisa cepat terbit!" kata Jessica.
"Hebat ya! Aku gak nyangka kamu masih muda, tapi udah berkarya luar biasa," kataku.
Entah kenapa ada yang salah dengan ucapan ku, tiba-tiba dia menitihkan air mata, lalu dia segera menghapusnya dengan punggung tangan kanannya. "Maaf, tapi kamu orang pertama yang menghargai karyaku secara langsung, bahkan semua teman-teman dan kedua orangtuaku menganggap bahwa diriku aneh karena bisa menerbitkan sebuah novel, meskipun novel ku kini bakal diangkat di film layar lebar," katanya.
"Aku tahu kok perasaan seperti itu, tapi percayalah bahwa tak ada jerih payah yang tidak dihargai," kataku.
Jessica tersenyum, lalu menarik napas panjang dan menghembuskan nya perlahan. "Minggu depan akan ada gala premiere untuk film adaptasi novelku, kalau kamu mau ikut, aku akan sangat senang," katanya, lalu memberikan secarik kertas berisikan nomor WA dan id Line dia. "Hubungi aja aku lewat Line atau WA," katanya sambil berlari meninggalkanku.
***
Di pagi hari ini tiba-tiba ponselku berdering. Aku melihat editor yang mengurus revisi naskahku sedang meneleponku. Aku mengangkatnya. "Halo Andi? Saya sudah melihat revisi naskahmu dan Boss tertarik dengan kecepatan dan ketepatan kamu dalam melakukan revisi naskahmu, sehingga Boss menawarkan kamu untuk menjadi editor di penerbit kami, apakah kamu mau?" tanya editor yang membuatku tertegun.
Aku tersenyum bahagia. "Boleh Pak," kataku dengan semangatmu.
"Oke, kirim CV mu di email kami dan jangan lupa untuk bertemu dengan HRD di kantor kami hari Rabu besok jam 10 pagi. Jangan terlambat! Karena ini benar-benar kesempatan istimewa untukmu dan jarang sekali penulis ditawarkan menjadi editor sepanjang sejarah penerbit ini," kata editor. "Ohh ya apakah kamu berniat untuk meneruskan kuliah? Karena kamu baru bisa jadi editor apabila kamu mendapat gelar sarjana, tapi gak usah takut masalah biaya, kami akan mengcover biaya kuliahmu dari awal sampai akhir," lanjut kata editor.
"Wah saya jelas mau kuliah lagi. Oke, saya akan kirim CV sekarang," jawabku dengan semangat.
"Oke kita tunggu kamu di tim penerbit ini," kata editor, lalu menutup teleponnya. Dengan semangat aku cepat mengetik CV dan mengirimnya ke email penerbit.
Tiba-tiba Jessica chat aku lewat Line.
Jessica: Aku tunggu kamu di theater XXA di mall X jam 6 sore nanti ya.
Andi: Siap
***
Sesampainya di tempat janjian, aku benar-benar bingung karena padatnya tempat bioskop dengan anak-anak sekolahan karena mereka masih banyak memakai seragam sekolah. Mereka semua asyik membicarakan film adaptasi novel karya Jessica. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku, lalu aku melihat Jessica tersenyum di depanku. "Maaf kalau aku terlambat," katanya dengan wajah gugup.
Aku tersenyum, "Gak apa kok," kataku.
"Ohh ya kamu mau minum atau pop corn atau Snack apa gitu?" tanyanya.
Aku menggeleng kepalaku. "Kamu ngajak aku ke gala premiere film adaptasi novelmu aja udah senang kok aku," jawabku.
Jessica langsung cemberut. "Ayolah mau beli apa gitu biar aku senang," kata Jessica sambil menarik-narik kedua tanganku kayak anak kecil.
"Cie jadi ini cowok yang dimaksud sama status Kak Jessica di Snapgram satu minggu ini?" tanya salah satu anak sekolah di tempat bioskop yang sepertinya fans dari Jessica.
Jessica melepas genggaman tangannya dari tanganku. "Ehh gak!" kata Jessica sambil menahan malu.
"Ahh bilang aja kalian pacaran!" kata anak sekolah lainnya.
Jessica langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Gak! Dia bukan pacar kakak!" jawab Jessica.
"Tapi kalo mau diresmikan sekarang gak apa kok," kataku yang meluncur begitu saja. Ahh ngapain juga aku tiba-tiba ngomong begitu.
"Kita selesaikan urusan kita di Line!" kata Jessica sambil pergi meninggalkanku.
"Yah kok pergi sih, penonton kecewa nih," kata anak sekolah lainnya, lalu fans Jessica meninggalkanku berangsur-angsur masuk ke studio, sehingga aku sendirian di ruang tunggu bioskop. Ahh ini kenapa aku jadi ditinggal sendirian?Tiba-tiba ponselku bergetar, lalu aku mengecek notifikasi line di ponselku.
Jessica: Ya, aku mau meresmikannya sekarang :) Sekarang kamu pergi ke kafe bioskop.
Aku mematikan ponselku dan segera pergi ke kafe bioskop, lalu aku melihat Jessica sedang menunggu petugas kafe bioskop yang sibuk memasukkan pop corn ke dalam kotak pop corn. "Jes?" tanyaku sambil berdiri di samping kirinya.
"Aku tak peduli apakah kamu seorang kura-kura ninja atau bukan. Aku tak peduli apakah kamu orang yang terpandang atau bukan," kata Jessica dengan pandangannya tetap lurus ke depan, lalu dia menoleh ke arahku. "Namun sejak kamu bertindak konyol di hadapanku untuk pertama kalinya. Sejak kamu mengatakan bahwa aku wanita yang hebat. Di situlah aku mulai jatuh cinta padamu dan sampai sekarang jatuh cinta itu tak padam sedikitpun," lanjut kata Jessica.
Aku tersenyum kecil, "Bentar bukankah itu quote dari novel yang kamu tulis sendiri kan?" tanyaku.
"Aku gak pernah nyangka bahwa apa yang aku tulis di novel, kejadiannya mirip dengan kehidupan pribadiku saat ini," kata Jessica. Pandanganku terkunci pada kedua mata Jessica yang begitu tenang dan senyumnya yang begitu manis yang membuatku merasa nyaman dengan kondisi seperti ini. Aku rasa Jessica merasakan hal yang sama pula.
"Mbak? Mas? Misi ini pesanannya tadi," kata petugas kafe yang membuat buyar lamunan kita berdua.
"Ohh ya," kata Jessica sambil mengeluarkan dompet dari tas kecilnya. Akupun melihat bill di sana, lalu menyerahkan uang sejumlah bill yang tertera di sana kepada petugas kafe. "Ehh kok kamu yang bayar sih?" tanya Jessica.
"Gak apa kan kita udah resmi sekarang," kataku.
Jessica memutar bola matanya malas. "Belum resmi jadi suami istri aja kok," kata Jessica. "Mas! Balikin uangnya ke dia, biar pakai uang aku aja," kata Jessica pada petugas kafe.
Aku hendak menolak, tapi tatapan Jessica begitu tajam padaku, sehingga aku nurut aja. "Anggap aja ini sebagai traktiran karena novelku diangkat di film layar lebar," kata Jessica. Petugas kafe itu mengembalikan uang yang aku berikan tadi ke aku, lalu menerima uang dari Jessica. Akhirnya aku memasukkan kembali uangku ke dalam dompet.
Setelah itu Jessica menyerahkan satu gelas minuman padaku. "Makasih ya," kataku canggung.
Jessica tersenyum, lalu tangan kanannya menggandeng lengan kiriku. "Yuk filmnya mau mulai," katanya.
Jessica menarik lenganku, tapi aku terdiam sambil menatap tangannya di lenganku. "Jes, aku gak pernah nih digandeng cewek kayak gini. Ntar kalau kamu gandeng aku kayak gini terus bisa mati berdiri aku," kataku dengan terbata-bata.
"Njirr lucu dah kamu!" balasnya, tapi sama saja dia tidak melepaskan cengkramannya dari lenganku. Akhirnya aku mau tak mau harus berjalan dengan digandeng seperti ini. Dan kau tahu? Inilah pertama kalinya aku digandeng cewek! Oh kayaknya aku jomblo banget, tapi jujur juga aku baru pertama kali lihat film di bioskop, habis gitu lihatnya sama cewek yang aku sukai pula. Jadi disebut hari apa hari ini? Tak tahulah, tapi bisa aku beri judul untuk kehidupanku akhir-akhir ini, yaitu menuju jomblo ngenes dan melampauinya. Iya jomblo karena putus dari Hana dan tak lolos SBMPTN. Kurang ngenes apa coba? Namun aku bisa melampaui jomblo ngenes itu hingga detik ini, aku udah gak jomblo lagi dan aku sangat senang malam ini karena Jessica di sisiku yang menjadi alasanku bahagia malam ini. Tak lupa juga bahwa aku bakal kerja sebagai editor di penerbit Y.